Sabtu, 23 Mei 2009

Kisah di Sebuah Bangku Taman

Musim semi telah tiba, aroma bunga lily terbawa oleh angin membuat tangan-tangan pujangga menulis syair indah tentang indahnya alam. Angin semilir dan cerahnya matahari membuat bunga-bunga bermekaran dan burung-burung berkicau riang. Itulah suasana taman di kota kecil Springfield saat musim semi tiba. Banyak muda-mudi yang habiskan waktunya tuk sekedar menikmati keindahan taman itu tiap akhir pekan. Begitu pula Benjamin, dengan sandal santainya dia melangkah dengan santai sambil bersiul-siul menikmati suasana taman pada pagi itu. Sesekali dia rapikan rambutnya yang hitam pekat dan bergelombang yang menghalangi pandangan matanya yang sebiru laut.

Tanpa terasa Benjamin sudah satu jam berkeliling di tempat itu, jadi dia putuskan tuk beristirahat di bangku taman yang akan dia temui selanjutnya. Di bangku taman tersebut duduk seorang gadis berambut pirang yang berkaca mata. Gadis itu membaca sebuah buku, dan dia terlihat begitu menikmatinya. Tanpa basa-basi Benjamin langsung duduk disampingnya. Rasa penasaran Benjamin sangat besar tentang apa yang sedang dibaca oleh gadis itu. Perlahan-lahan dia mengintip apa yang sedang dibaca gadis itu. Gadis itu tak menyadari kehadiran Benjamin hingga akhirnya secara spontan Benjamin tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui buku yang sedang dibaca gadis itu. “Hahahahahaha, aku tak percaya kamu masih membaca buku seperti itu!”,kata Benjamin sambil terus menahan ketawanya. Gadis itu langsung menekuk mukanya dan pergi meninggalkan Benjamin. Saat itu, Benjamin merasa cukup bersalah karena menyakiti hati gadis itu. Benjamin tak pernah berfikir bahwa gadis itu akan terluka mendengar kata-katanya.

Keesokan harinya di waktu yang sama Benjamin bertemu dengan gadis itu di tempat yang sama, di sebuah bangku taman yang berdiri tegak menghadap danau kecil di tengah taman itu. Awalnya waktu melihat Benjamin dating, gadis itu hendak beranjak dari tempat duduknya. Dengan sesegera Benjamin menghalangi jalan gadis itu dan berkata,”Sorry buat yang kemarin, aku gak ada maksud buat bikin kamu marah. Aku Cuma bercanda kok tentang yang kemarin”, kata Benjamin dengan lembut. Gadis itu terdiam sambil menatap danau yang berada di sampingnya. Benjamin pun langsung mengulurkan tangannya sambil berkata,”Sekali lagi maafin aku, aku bener-bener ga ada maksud jelek kok. Bagaimana klo kita berteman aj”. Gadis itu langsung menatap mata Benjamin sambil berkata,” Owh, gampang banget ya minta maaf. Udah ngehina aku sekarang minta maaf sambil minta temenan lagi. Dasar ga tau malu!”. “Ugh, sumpah deh aku kemarin cumin becanda, ga ad maksud ngehina kamu. Lagian sebenernya aku juga suka baca literatur yang kamu baca kok, ceritanya bagus”, balas Benjamin sambil menunjukkan ekspresi wajahnya yang begitu merasa bersalah. “OK, tapi jangan diulangi lagi karena ga semua orang di dunia easy going dan menganggap kata-kata yang kamu lontarkan kemarin sebuah lelucon!”, kata gadis itu sambil terus menekuk mukanya. “Ok ok, aku inget kata-kata kamu. Namaku Benjamin, kalau kamu?”, kata Benjamin ramah.”Aku Jane, senang berkenalan denganmu Ben”, balas Jane denagn tersenyum tipis sambil meyambut tangan Benjamin untuk bersalaman. Itulah awal dari perkenalan dua sahabat ini.
Setelah saat itu mereka sering bertemu di bangku taman itu setiap paginya. Hari demi hari mereka berdua semakin akrab. Mereka tak merasa canggung lagi seperti pertama kali bertemu. Mereka mulai saling berbagi cerita tentang pengalaman hidup dan impian mereka. Canda dan tawa selalu menghiasi suasana di bangku taman itu saat mereka berdua duduk diatasnya.

Saat musim akhir musim dingin Benjamin tak pernah lagi bertemu dengan Jane di bangku taman tersebut. Awalnya Benjamin hanya berfikir mungkin Jean mempunyai kepentingan mendadak karena Jean selalu memberi kabar bila dia tak datang. Tanpa terasa musim telah berganti, tapi Jean masih belum muncul, hanya mailbox Jean yang menjawab setiap panggilan dari Benjamin. Akhirnya Benjamin memutuskan untuk pergi kerumah Jane. Selama mereka berteman, Jane tak pernah mengajak Benjamin ke rumahnya untuk sekedar mengantar dia pulang. Benjamin meminta keterangan seadanya ke orang-orang yang ada di taman itu. Dia berharap ada seseorang yang tau tempat di mana Jean tinggal. Setelah berjam-jam mencari informasi akhirnya Benjamin menemukan titik cerah. Ada seorang penjual makanan di taman itu yang tahu tempat tinggal Jane. Sorenya orang itu mengantar Benjamin ke rumah Jane.
Rumah Jane terletak tidak jauh dari taman itu, cukup berjalan satu sampai dua blok rumah Jane sudah terlihat. Rumah mungil sederhana yang berdiri begitu apiknya di pinggir jalan, dan berhiaskan taman bunga yang indah di depannya. Tak sulit untuk mengenali rumahnya, cat tembok warna hijau cerahnya dapat terlihat dengan mudah dari jauh. Di depan rumah itu duduk seorang pria tua di kursi rodanya sambil menikmati koran. Rambutnya yang sudah mulai memutih tampak begitu mencolok dibandingkan dengan kulitnya yang coklat dan keriput yang mulai nampak di wajahnya.
“Permisi Pak, apa benar ini rumah Jean??”, sapa Benjamin dengan ramah. “Ya benar, ada apa ya adik dating ke sini? Temannya Jean ya?”, jawab pria itu dengan tetap memperhatikan koran yang ada di tangannya dan melirik ke arah Benjamin. “Ya, saya temannya. Boleh saya bertemu dengan Jean?”,Tanya Benjamin. Tanpa banyak kata pria itu langsung menaruh korannya dan mempersilahkan Benjamin masuk. Di dalam ruang tamu Benjamin dipersilahkan untuk duduk. Selang beberapa menit pria itu (Ayah Jean) datang sambil menuntun Jean perlahan-lahan. Tubuh Jean yang kurus dan wajahnya yang pucat membuat dia terlihat seperti mayat hidup. Kulit Jean yang putih berseri kini Nampak begitu pucat. Dia terlihat begitu rapuh saat dituntun oleh ayahnya. “Aku senang kamu datang Ben, darimana kamu tahu rumahku?”, tanya Jean. “Aku diberi tahu oleh seorang penjual makanan. Kamu sakit ya? Sakit apa? Kok ga kasih kabar?”, tanya Benjamin dengan nada iba. Setelah mendengar kata-kata Benjamin itu Jean tersenyum tipis untuk sejenak, lalu wajahnya kembali lesu seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Jean pun mengubah arah pembicaraan mereka dan Benjamin sadar kalau Jean sedang menyembunyikan sesuatu.

Setiap akhir pekan Benjamin menyempatkan dirinya untuk menjenguk Jean. Berangsur-angsur Jean pun semakin sehat berkat dukungan moril dari sahabat barunya, Benjamin. Pada suatu saat Benjamin sangat penasaran tentang penyakit yang di derita Jean, jadi dia putuskan untuk pergi ke Rumah Sakit tempat dimana Jean diperiksa dulu. Betapa kagetnya saat Benjamin menemukan fakta bahwa sahabatnya, Jean terjangkit HIV, penyakitnya merupakan turunan dari almarhumah ibunya. Mendadak bumi seperti terbelah dua bagi Benjamin. Benjamin pun mulai sedikit takut, ngeri dan risih dengan Jean.
Selang beberapa minggu telah berlalu, Benjamin tak lagi sering menjenguk Jean. Jean sedih karena merasa ditinggalkan dan dilupakan oleh sahabat satu-satunya yang sangat dia sayangi. Sore itu Benjamin duduk-duduk di bangku taman dimana dia menghabiskan waktunya bersama Jean dulu. Dia merenungkan banyak hal, pikirannya seperti sedang berkelana dalam dunia masa lalunya hingga ada suara seseorang yang membangunkan dia dari lamunannya itu. Suara itu adalah suara penjual makanan yang mengantarkan Benjamin ke rumah Jean dulu. “DOR!!! Sore-sore kok ngelamun? Kesambet baru kapok ntar!!”,kata penjual makanan itu dengan nada enyindir. “Abang bisa aja, ga lagi ngelamun kok. Cuman liat danau doing”, jawab Benjamin sambil terus memerhatikan danau. “Wah, lagi banyak pikiran nih kayaknya, meski kamu ga ngomong aku tau kok udah keliatan dari mukanya”,sahut si penjual. Benjaminpun menghela napas dan menunduk kepalanya. “Bukannya aku sok tau, tapi aku ada saran buat kamu. Pertahankanlah apa yang telah kau dapat sebelum kau menyesal karena telah melewatkannya”,kata penjual makanan itu sambil menepuk pundak Benjamin. Keadaan kembali sunyi, Benjamin sibuk dengan pemikirannya dan si penjual makanan itu pun sudah lama berlalu. Kata-kata penjual makanan itu menancap dalam benak Benjamin. Benjamin akhirnya sadar bahwa persahabatnnya dengan Jean adalah sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan, tak peduli apapun Jean atau bagaimanaoun keadaan Jean, sahabat selalu saling memberi dan saling mengerti.
Awal musim panas Benjamin kembali menjenguk Jean. Benjamin menceritakan segalanya, termasuk tentang rahasia kecil Jean. Jean pun menangis sambil memeluk Benjamin, Benjamin hanya dapat mengelus rambutnya sambil berkata, “Aku bakal bantuin kamu kok, aku akan masuk ke universitas kedokteran untuk dapat mengobatimu”. Setelah itu Benjamin menceritakan bahwa dia telah berhasil mendapatkan beasiswa mendapat gelar dokter di sebuah universitas terkemuka. Setelah itu dua sahabat ini hanya dapat berkomunikasi melewati ponsel atau sebuah kartu pos.
Tak terasa lima tahun sudah berlalu, Benjamin telah sukses menjadi dokter. Sedangkan Jean, sekarang sedang terbaring sakit di kamar ICU. Kondisi Jean benar-benar lemah, bahkan untuk berdiri saja dia tak mampu, meskipun begitu Benjamin tetap setia menemani Jean. Hingga pada suatu saat, Jean meminta sesuatu ke Benjamin. “Ben aku pengen liat danau nih, bawa ketempat biasa dong”, pinta Jean dengan suaranya yang lirih.”Ok, tapi pakai kursi roda ya! Kamu kan belum kuat”, jawab Ben. Jean hanya tersenyum tipis pertanda setuju. Sesampainya disana mereka duduk berdampingan seperti 6 tahun yang lalu.”Ben, maafin yah klo ngrepotin kamu”,ungkap Jean membuka pembicaraan.”Udah gpp kita kan sahabat”,jawab Benjamin dengan nada ramah. “Iya aku tahu, terima kasih yah udah jadi sahabat aku yang satu-satunya mau ngertiin kondisi aku dan ga ngejauhin aku, aku bener-bener bersyukur punya sahabat seperti kamu”, ungkap Jean sambil menyandarkan kepalanya di bahu Benjamin. “Ya aku juga bersyukur bisa ketemu kamu kok Jean”,balas Benjamin. Selang beberapa menit kemudian Benjamin baru sadar bahwa sahabatnya itu telah meninggalkannya saat bersandar di pundaknya. Senyum tipis Jean masih terpampang jelas di wajah ayunya yang memucat. Benjamin hanya mampu menahan tangis akan kepergian sahabatnya.